Label

Selasa, 13 Oktober 2015

“Panjang Jari Tangan Menentukan Kecerdasan?”

December 2nd, 2013 by aswadhmangalaeng

Menentukan seseorang cerdas atau tidak tanpa menguji otaknya memang tidaklah mudah. Apalagi jika hanya mengandalkan tampilan fisik. Seringnya kita mendapatkan fakta yang berseberangan. Seseorang dengan tampilan fisik menarik tak

berkorelasi positif dengan kemampuan otaknya yang cerdas. Demikian pula sebaliknya. Meski demikian, berdasarkan hasil penelitian ada bagian tubuh manusia yang bisa digunakan untuk mengungkapkan kecerdasan seseorang.

Mark Brosnan salah satu peneliti dari Universitas Bath mengungkapkan bahwa kecerdasan seseorang dapat dilihat dari perbandingan panjang jari manis dan jari telunjuknya. Seorang anak yang memiliki jari manis lebih panjang daripada jari telunjuk

cenderung memiliki kemampuan matematika lebih tinggi daripada kemampuan verbal dan bahasa. Jika perbandingan sebaliknya anak umumnya memiliki kemampuan verbal seperti menulis dan membaca yang lebih baik dari matematika. Panjang jari tangan

merefleksikan perkembangan bagian-bagian di otak.

Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa pertumbuhan jari-jari tangan manusia berbeda-beda tergantung hormon testosteron dan estrogen di dalam rahim saat bayi dikandung ibunya. Kadar testosteron yang tinggi diyakini mendukung perkembangan bagian otak yang berhubungan dengan matematika dan pandang ruang. Hormon itu pula yang menyebabkan jari manis tumbuh lebih panjang. Estrogen juga mendorong efek yang sama pada bagian otak, namun yang berhubungan dengan kemampuan verbal. Hormon ini mendukung pertumbuhan jari telunjuk, sehingga lebih panjang dari jari manis.

Untuk menguji hubungan kecerdasan dengan rasio panjang jari tangan, Brosnan dan koleganya membandingkan tes scholastic (SAT) semacam psikotes kepada calon siswa yang mendaftar sekolah dengan panjang cap jari setiap siswa yang telah diminta

sebelumnya. Mereka mengukur panjang jari-jari secara teliti menggunakan jangka sorong yang memiliki tingkat ketelitian 0,01 mm. Kemudian rasio panjang jari dicatat untuk memperkirakan perbandingan kadar testosteron dan estrogen.

Hasil tes siswa laki-laki dan perempuan dipisahkan. Mereka menemukan hubungan yang jelas antara tingginya paparan testosteron terlihat dari panjang jari manis yang lebih panjang daripada jari telunjuk dengan nilai uji matematika yang tinggi. Juga

tingginya paparan estrogen dengan kemampuan bahasa dan verbal pada sebagian anak perempuan. ”Rasio panjang jari memberikan kita gambaran mengenai kemampuan pribadi yang berhubungan dengan kognitif (daya pikir).” Ujar Brosnan yang akan

melaporkan temuannya dalam British Journal of Psychology.

Sumber : Harian pikiran rakyat, 31 Mei 2007

SEJARAH KALENDER HIJRIYAH

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits* 
Dewan Pembina Konsultasi Syariah

Masyarakat Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan kalender qamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal. Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.

Hanya saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu. Kita kenal ada istilah tahun gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah.Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.

Keadaan semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Ketka itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah.

2. Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.

3. Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud.

4. Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq. Dst.

(Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005)

Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattabradhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah. Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah (Irak). Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:

ضعوا للناس شيئاً يعرفونه

“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”

Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)

Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:

Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun?” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).

Mengapa bukan tahun kelahiran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan?

Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:

أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة

Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).

Abu Zinad mengatakan:

استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة

“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)

Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakanKalender Hijriah.

Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.

Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:

a. Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam.

b. Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.

c. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua.

(simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268)

Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.

Allahu a’lam.

*Sumber:http://www.konsultasisyariah.com/sejarah-penetapan-kalender-hijriah/

Sabtu, 10 Oktober 2015

SAMARA BARA

📆 Sabtu, 26 Dzulhijjah 1436H / 10 Oktober 2015

🌄 KELUARGA SAMARA

📝 Pemateri: Ustz. EKO YULIARTI SIROJ

📋 “Karena Berkeluarga Adalah Fitrah”

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹 

💝Ada Khadijah yang merindu. Merindukan sesuatu yang hilang dan mengharapkannya kembali.
Ada Muhammad yang gemilang. Pemilik sifat mulia, cerdik dan jujur, yang diminta Khadijah untuk membawa barang dagangan miliknya ke Syam ditemani seorang pembantu bernama Maisarah dan pulang membawa keuntungan yang berlimpah.

Khadijah sepeti menemukan barang yang hilang dan sangat ia harapkan itu. Sudah banyak pemuka kaum yang melamar Khadijah untuk menikahinya. Namun Khadijah tidak mau.

Tiba-tiba…ketika kafilah dagang Muhammad kembali dari negeri Syam dengan capaian yang fenomenal, ia teringan rekannya Nafisah binti Muniyah. Dia meminta rekannya ini untuk menemui Muhammad dan membuka jalan agar mau menikah dengan Khadijah.

Ternyata beliau menerima tawaran itu, lalu beliau meneui paman-pamannya untuk memohon restu. Kemudian paman-paman beliau menemui paman-paman Khadijah untuk mengajukan lamaran. Setelah semua dianggap beres, maka perkawinan siap dilaksanakan.

Dua bulan sepulang dari Syam, Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar menjadi saksi pernikahan agung itu. Dengan mas kawin dua puluh ekor unta muda, Muhammad menikahi Khadijah seorang perempuan terpandang, cantik, pandai, dan juga kaya.

Demikian Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury menjelaskan pernikahan Muhammad dengan Khadijah dalam kitab siroh yang terkenal Ar-Rohiqul Makhtum.

💝Rasa itu tersimpan cukup lama dihati seorang pemuda bernama Ali bin Abi Thalib. Rasa yang muncul pertama kali saat Ali melihat Fathimah membersihkan luka sang ayah dengan penuh kasih sepulang sang ayah dari medan perang.

Remuk redam hati Ali saat ia tahu satu demi satu pemuka sahabat mengajukan lamaran kepada Rasulullah untuk menikahi putrinya.
Namun hati Ali kembali berbunga saat jawaban yang diberikan Rasulullah selalu saja “Dia (Fathimah) masih kecil.”

Bunga-bunga di hati Ali tak kunjung bertambah karena ia tidak memiliki keberanian untuk mengajukan lamaran kepada Rasul mulia.

Hingga suatu hari Abu Bakar RA mendatanginya dan menanyakan mengapa ia tidak mengajukan lamaran kepada Fathimah putri Rasulullah SAW. Antara bahagia karena Abu Bakar begitu kuat mendorongnya untuk menikah dan tidak percaya diri karena tidak memiliki apa-apa, Ali mengambil sebuah keputusan berani. Ya…ia akan menemui Rasulullah SAW.

Ummu Salamah yang saat Ali mendatangi Rasulullah sedang berada di rumahnya menceritakan dengan agak detil bagaimana pertemuan Ali dan Rasulullah berlangsung.

Rona merah muka Ali karena malu, bicara gugup sambil tertunduk, wajah Rasulullah yang berbinar bahagia menerima pinangan Ali, dikisahkan Ummu Salamah dengan begitu lengkap.

Bahkan kondisi ekonomi Ali yang dipaparkan dengan jujur dan didiskusikan bersama Rasulullah menambah indahnya perjalanan Ali memulai berkeluarga. Seekor unta, sebilah pedang dan seperangkat baju besi, hanya itu yang dimiliki Ali. Dan Rasulullah memilih baju besi sebagai mahar Ali untuk menikahi Fathimah.

🍂 Berkeluarga memang fitrah setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Fitrah yang salah satu maknanya dijelaskan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya sebagai khilqoh; anugerah pemberian Allah SWT. 

Dan setiap orang memiliki anugerah itu. Anugerah kecenderungan untuk memiliki pasangan dan berketurunan.

Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah SWT  dengan fitrah ini. Karenanya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar kehidupan yang dijalani sesuai dengan fitrah yang Allah anugerahkan dan tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum : 30]

💡Ibnu Abdul Bar seperti yang dikutip Al-Qurthuby dalam tafsirnya menjelaskan bahwa fitrah ini harus dijaga agar ia salamah dan istiqomah (selamat dan tetap lurus/konsisten). Yang membuat ia selamat dan lurus adalah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah yaitu dienul Islam.

🍂Adakah fitrah yang yang tidak selamat & berbelok?
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA berikut menjadi jawabannya.

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُننَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari)

Para ulama menyebutkan bahwa secara khusus yang dimaksud dengan fitrah dalam hadits ini adalah setiap bayi yang dilahirkan memiliki pengetahuan tentang Robb-nya. Maka saat manusia tumbuh menjadi dewasa, pengetahuan tentang Robb ini sangat ditentukan oleh lingkungan tempat ia tumbuh.
Dan lingkungan terdekat dari seseorang adalah ORANG TUA nya.

Diantara fitrah (dalam pemahaman yang lebih umum) yang dimiliki manusia adalah keinginan dan kebutuhan untuk menikah dan berkeluarga. Bahkan para nabi dan rasul sebagai makhluk Allah yang normal, mereka menikah dan berkeluarga. Karena berkeluarga adalah kebutuhan, maka Allah memberikan kemudahan dalam pelaksanaannya. 

Lihatlah kisah diatas, bagaimana kecenderungan untuk menikah itu bermula dari Khadijah dan ia membuka jalan sedikit demi sedikit untuk mengupayakannya.

Tidak ada aib disana karena ia merencanakan dan menjalani perencanaan dengan sangat rapi tanpa melanggar aturan. Bahkan urusan usia sang calon istri yang jauh diatas calon suami tidak menjadi penghalang untuk berkeluarga.

🔑 Karena menikah adalah fitrah, maka jalan ke arahnya harus sesuai dengan aturan Allah.

Pun demikian dengan jalan yang ditempuh Ali bin Abi Thalib. Karena menikah itu fitrah, ia beranikan diri menghadap Rasulullah untuk meminang putrinya dengan kondisi Ali yang serba minim.

Tapi lihatlah bagaimana respon Rasulullah SAW? Beliau begitu bahagia, menerima lamaran Ali dengan wajah cerah ceria. Karena walau kondisi ekonominya minim, tapi Ali memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki sahabat lain. Rasulullah bahagia…karena MENIKAH ITU FITRAH.🔍

🍂Dalam urusan MAHAR, Islam juga memberi kemudahan.
Ada Rasulullah Muhammad yang menikahi Khadijah dengan mahar dua puluh ekor unta muda. Nilai yang sangat besar bahkan untuk situasi saat ini. Karena unta muda (unta merah) adalah unta yang harganya paling mahal.

Ada Ali bin Abi Thalib yang menikahi Fathimah binti Rasulullah dengan mahar seperangkat baju besi senilai 40 dirham menurut sebagian riwayat.

Keduanya berjalan lancar dan mengantarkan mereka kepada pembentukan keluarga harmonis yang penuh berkah hingga anak cucu, kaum kerabat bahkan para sahabatnya.

Tidak ada yang memberatkan dalam mahar, karena menikah dan berkeluarga adalah fitrah.  
Fitrah berkeluarga antara laki-laki dan perempuan.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. Al Hujurat Ayat 13)

Sepanjang sejarah manusia, Allah SWT seolah menegaskan bahwa sesuai dengan fitrah pernikahan dan pembentukan keluarga dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Ada Adam dan Hawa, ada Ibrahim dan Hajar, ada Yusuf dan Zulaikha, ada Muhammad dan Khadijah.

Dan Allah SWT memberikan contoh bagi umat manusia bagaimana akhir cerita suatu kaum yang keluar dari fitrah yang Allah anugerahkan. Kaum nabi Luth adalah sebuah contoh, bagaimana perilaku menyimpang yang mereka lakukan justru mengundang adzab yang sangat besar dari Allah SWT. (silakan pelajari surat Huud ayat 77-82).

Hari ini, kita menghadapi sebuah gelombang besar. 🔹Gelombang yang mengajak manusia untuk meninggalkan fitrahnya. 🔹Gelombang yang menuntut agar penyimpangan fitrah yang dilakukan segelintir orang bukan diobati tetapi dipermaklumkan atas nama hak asasi manusia. 🔹Gelombang yang akan meruntuhkan tatanan berkeluarga dan bermasyarakat itu dipaksakan untuk diterima oleh semua kalangan di semua Negara karena mereka menitipkan suaranya kepada komisi perempuan PBB.

Mereka kaum lesbi, gay, biseksual dan transjender (LGBT) menuntut agar perilaku menyimpang mereka diakui tidak hanya oleh masyarakat akan tetapi diakui oleh Negara.

Pernahkah kita membayangkan sebuah keluarga yang terdiri dari dua orang laki-laki dewasa atau dua orang perempuan dewasa dan seorang atau dua orang anak (adopsi) hidup ditengah masyarakat kita?

Keluarga yang tanpa perlu berfikir panjang bisa memutuskan ikatannya dan membentuk keluarga baru? Keluarga yang tak memiliki orientasi dan tujuan yang jelas untuk apa mereka bersama-sama?  Apakah dari keluarga model ini akan hadir sakinah, mawaddah dan rahmah?

Tentu saja 🔊..TIDAK..🔊 karena berkeluarga memiliki ruh dimensi waktu yang sangat panjang. Bukan hanya saat mereka ada bahkan saat mereka telah tiada keluarga menjadi teladan bagi generasi selanjutnya seperti keluarga Ibrahim AS dan keluarga Muhammad SAW yang hingga kini kita sebut keduanya dalam shalawat kita.

Maka berhati-hatilah terhadap gerakan yang dilakukan kelompok ini yang upayanya merambah kehidupan kita terutama dilakukan dengan menggunakan media.

Film yang ditonton anak-anak kita tanpa menyebutkan identitas yang jelas seperti sponge bob atau teletubbies.

Artis atau comedian laki-laki yang penampilannya gemulai seperti perempuan.
Olah raga berat yang dilakukan oleh kaum perempuan seperti gulat, tinju, angkat besi, dll.

Jika tidak dihentikan, maka gelombang itu akan merasuk ke dalam masyarakat kita.

Naudzu billah tsumma naudzu billah.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌼Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼

- Twitter: @GrupMANIS
- Blog: www.grupmanis.blogspot.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Kamis, 08 Oktober 2015

Bulan Allah, Muharrom.

Materi pagi 👇ya

📆 Kamis, 24 Dzulhijjah 1436H / 08 Oktober 2015

🌄 TSAQOFAH ISLAMIYAH

📝 Pemateri: DR. WIDO SUPRAHA

📜 MUHARRAM BULAN ALLAH, BUKAN BULAN SIAL APALAGI BULAN SYIAH!

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹 

Muharram, Syahrullah, bulan Allah, segera tiba.

Bulan penuh keutamaan amal shalih seperti puasa, berarti keutamaan juga untuk amal shalih lainnya seperti resepsi pernikahan, sunatan, aqiqah, perjalanan jauh, dan sejenisnya.

Generasi terbaik umat Islam telah mengisi bulan Muharram dengan memperbanyak amal shalih, dan menjaga diri mereka dari berperang kecuali jika diperangi musuh.

Allah Swt. telah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّہُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَہۡرً۬ا فِى ڪِتَـٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡہَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٌ۬‌ۚ ذَٲلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ‌ۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيہِنَّ أَنفُسَڪُمۡ‌ۚ وَقَـٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِڪِينَ كَآفَّةً۬ ڪَمَا يُقَـٰتِلُونَكُمۡ ڪَآفَّةً۬‌ۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ (٣٦)

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.

Itulah [ketetapan] agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah/9:36)

Abu Muhammad Makki ibn Abi Thalib Hammusy ibn Muhammad ibn Mukhtar Al-Qaisi al-Qairawani al-Andalusi al-Qurthubi al-Maliki (355-437H) berkata,
“Empat bulan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram”.

وهن: رجب، وذو القعدة، وذو الحجة والمحرم

(Al Hidayah ila Bulugh an-Nihayah fi ‘Ilmi Ma’ani al-Qur’an wa Tafsiruhu, wa Ahkamuhu wa Jamalu min Fununi ‘Ulumihi, Maktabah Syamilah).

Hal ini juga telah dijelaskan Nabi Saw. dalam salah satu khutbahnya,

“Sesungguhnya zaman  telah bergulir seperti saat hari ketika diciptakannya langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas 12 bulan, dan di antaranya ada 4 bulan haram, 3 bulan berturutan yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan kemudian bulan Rajab yang berada di antara Jumadil Akhir dan Sya’ban. (HR. Bukhari No. 59, HR. Muslim No. 1679)

إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق السموات والأرض، السنة اثنا عشر شهراً منها أربعة حرم ثلاث متواليات ذو القعدة وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

Muhammad ibn ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn ‘Abdullah al-Husni al-Ihabi asy-Syafi’i (832-905H) mengutip pendapat sebagian ulama bahwa larangan untuk berbuat aniaya (kezhaliman) pada ‘فيهن’ merujuk kepada ‘اثنا عشر شهراً’ dimaksud, sehingga tidak terbatas pada empat bulan saja.

Demikian tegas larangan tersebut disampaikan agar manusia mengisi seluruh bulan dengan ketaatan.

والطاعة فيها أعظم أجراً

Dan ketaatan yang dilakukan di bulan haram, sangat besar pahalanya. (Tafsir al-Iji Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Maktabah Syamilah)

🔑Jika ketaatan yang diamalkan di bulan Muharram akan mendapatkan pahala yang besar, maka penyimpangan keyakinan dan kemaksiatan yang dilakukan di dalamnya pun mendapatkan balasan yang besar.

Tidak pantas bagi manusia
mengisinya dengan keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial, sebagaimana tidak pantas bagi manusia untuk menganiaya dirinya di bulan suci.

Meyakini segala waktu, terlebih bulan Allah, sebagai waktu yang akan melahirkan kesialan adalah keyakinan batil yang akan menyakiti Allah Swt.

Rasul Saw. bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu karena Allah Dialah (pencipta) Ad-Dahr. (HR. Muslim No. 5827)

لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ؛ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ

Sebagaimana Allah Swt telah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi:

“Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr.
Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang.” (HR. Bukhari No. 2042, Muslim No. 3326)

يؤذيني ابن آدم يسب الدهر، وأنا الدهر، بيدي الأمر أقلب الليل والنهار

Demikian juga dengan beramal, terlebih beramal di bulan Allah dengan amalan yang bersifat menganiaya diri, melukainya, bahkan menyebabkan kecacatannya, hingga kematiannya, sebagaimana perilaku sebagian Syi’ah, bukanlah ciri umat Nabi Muhammad Saw, merujuk peringatan beliau:

“Bukanlah golongan kami sesiapa yang menampar pipi, merobek-robek kantong baju, dan beramal dengan amal jahiliyah”. (HR. Bukhari No. 1294, Muslim No. 103)

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة

💡🔑 Menjaga iman agar tetap berada dalam pemahaman yang lurus, dan menghidupkan amal agar selalu merujuk kepada ilmu adalah hal yang asasi dalam kehidupan dunia.

Semoga hal itu mudah bagi kita.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌼Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼

- Twitter: @GrupMANIS
- Blog: www.grupmanis.blogspot.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

📆 Senin, 06 Muharram 1437H / 19 Oktober 2015

📚 FIKIH DAN HADITS

📝 Pemateri: Ust. FARID NU'MAN HASAN SS.

📋 Puasa Sunah ‘Asyura: Waktu dan Keutamaannya (Bag-2)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

📚 KAPANKAH PELAKSANAANYA?

Terjadi perselisihan pendapat para ulama.

🍃1⃣  Pihak   yang mengatakan 9 Muharam (Ini diistilahkan oleh sebagian ulama hari tasu’a).

Dari Al Hakam bin Al A’raj, dia berkata kepada Ibnu Abbas:

أَخْبِرْنِي عَنْ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَيُّ يَوْمٍ هُوَ أَصُومُهُ قَالَ إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ ثُمَّ أَصْبِحْ مِنْ التَّاسِعِ صَائِمًا قَالَ فَقُلْتُ أَهَكَذَا كَانَ يَصُومُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ

“Kabarkan kepada aku tentang puasa ‘Asyura.” Ibnu Abbas berkata: “Jika kau melihat hilal muharam hitunglah dan jadikan hari ke-9 adalah berpuasa.” Aku berkata; “Demikiankah puasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”  Ibnu Abbas menjawab: “Ya.” (HR. Muslim No. 1133, Ahmad No. 2135)

Juga  dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan dia memerintahkan manusia untuk berpuasa pada hari itu, para sahabat berkata:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani ….,”

Maka dia bersabda: “Jika datang tahun yang akan datang – Insya Allah- kita akan berpuasa pada hari ke-9.”
Ibnu Abbas berkata: “Sebelum datangnya tahun yang akan datang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat.” (HR. Muslim No. 1134 dan Abu Daud No. 2445)

Sementara dalam lafaz lainnya:

لئن سلمت إلى قابل لأصومن اليوم التاسع

“Jika saya benar-benar masih sehat sampai tahun depan, maka saya akan berpuasa pada hari ke-9.” (HR. Muslim No. 1134. Ibnu Majah No. 1736. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 8185. Ahmad No. 1971)

Dalam Shahih Muslim disebutkan tentang puasa hari ke-9:

وفي رواية أبي بكر: قال: يعني يوم عاشوراء

“Dalam riwayat Abu Bakar, dia berkata: yakni hari ‘Asyura.” (HR. Muslim No. 1134)

Dari Ibnu Abbas secara marfu’:

لئن عشت إلي قابل لأصومن التاسع يعني يوم عاشوراء

“Jika saya masih hidup sampai tahun depan, saya akan berpuasa pada hari ke -9, yakni ‘Asyura.” (HR. Ahmad No. 2106, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya qawwi. Musnad Ibnu Al Ja’d No. 2827)

🍃2⃣ Pihak   yang mengatakan 10 Muharam, dan ini pendapat mayoritas ulama. Puasa ‘Asyura, sesuai asal katanya – al ‘asyr – yang berarti sepuluh.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

واختلف أهل الشرع في تعيينه فقال الأكثر هو اليوم العاشر ، قال القرطبي عاشوراء معدول عن عاشرة للمبالغة والتعظيم ، وهو في الأصل صفة لليلة العاشرة لأنه مأخوذ من العشر

“Telah berselisih pendapat para ahli syariat tentang waktu spesifiknya, kebanyakan mengatakan adalah hari ke sepuluh. Berkata Al Qurthubi ‘Asyura disetarakan dengan kesepuluh untuk menguatkan dan mengagungkannya.

Pada asalnya dia adalah sifat bagi malam yang ke sepuluh, karena dia ambil dari kata al ‘asyr (sepuluh).” (Fathul Bari, 6/280)

Lalu beliau melanjutkan:

وعلى هذا فيوم عاشوراء هو العاشر وهذا قول الخليل وغيره : وقال الزين ابن المنير : الأكثر على أن عاشوراء هو اليوم العاشر من شهر الله المحرم

“Oleh karena itu, hari ‘Asyura adalah ke sepuluh, inilah pendapat Al Khalil dan lainnya. Berkata Az Zain bin Al Munir, “ mayoritas mengatakan bahwa ‘Asyura adalah hari ke 10 dari bulan Allah, Al Muharram. (Ibid)

Pendapat   ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيام عاشوراء يوم العاشر

“Kami diperintahkan puasa ‘Asyura oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hari ke sepuluh.” (HR. At Tirmidzi No. 755, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 755)

Lalu, bagaimana dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak yang mengatakan ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharam?

Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan: “Zahirnya hadits ini menunjukkan hari ‘Asyura adalah hari ke-9, tetapi berkata Az Zain bin Al Munir: “Sabdanya jika datang hari ke sembilan” maka jadikanlah  ke sepuluh, dengan maksud yang ke sepuluh karena janganlah seseorang berpuasa pada hari ke-9 kecuali setelah berniat pada malam yang akan datang yaitu malam ke sepuluh.”  Lalu beliau mengatakan:

  قلت : ويقوي هذا الاحتمال ما رواه مسلم أيضا من وجه آخر عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع فمات قبل ذلك " فإنه ظاهر في أنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم العاشر وهم بصوم التاسع فمات قبل ذلك ، ثم ما هم به من صوم التاسع يحتمل معناه أنه لا يقتصر عليه بل يضيفه إلى اليوم العاشر إما احتياطا له وإما مخالفة لليهود والنصارى وهو الأرجح

“Aku berkata: yang menguatkan tafsiran ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim juga dari jalan lain, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “jika saya masih ada sampai tahun depan saya akan berpuasa pada hari ke-9, dan dia wafat sebelum itu.”

Pada zahir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ke-10, dan   meraka diperintah  melakukannya pada hari ke-9 dan dia wafat sebelum itu. Kemudian apa yang mereka lakukan berupa puasa hari ke-9, tidaklah bermakna membatasi, bahkan menambahkan hingga hari ke -10, baik karena kehati-hatian, atau demi untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nasrani. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Ibid)

Sebenarnya kelompok ini tidaklah mengingkari puasa hari ke-9. Beliau mengutip dari para ulama:

وقال بعض أهل العلم : قوله صلى الله عليه وسلم في صحيح مسلم " لئن عشت إلى قابل لأصومن التاسع " يحتمل أمرين ، أحدهما أنه أراد نقل العاشر إلى التاسع ، والثاني أراد أن يضيفه إليه في الصوم ، فلما توفي صلى الله عليه وسلم قبل بيان ذلك كان الاحتياط صوم اليومين

“Berkata sebagian ulama: Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahih Muslim: Jika aku masih hidup sampai tahun depan maka aku akan berpuasa pada hari ke -9” bermakna dua hal;

Pertama, yaitu perubahan dari hari ke-10 menjadi ke-9.
Kedua, yaitu puasanya ditambahkan.

Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keburu meninggal sebelum menjelaskan hal itu, maka demi kehati-hatian puasa tersebut ada dua hari.” (Ibid)

Berkata Ibnu Abbas secara mauquf:

صوموا التاسع والعاشر وخالفوا اليهود

“Berpuasalah pada hari ke 9 dan 10 dan berselisihlah dengan Yahudi.” (HR. Ahmad No. 3213, sanadnya shahih mauquf/sampai Ibnu Abbas saja)

🍃3⃣ Pihak yang mengatakan puasa ‘Asyura itu adalah 9, 10, dan 11 Muharam.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis dalam kitab Fiqhus Sunnah sebuah sub bab berjudul :

صيام محرم، وتأكيد صوم عاشوراء ويوما قبلها، ويوما بعدها

“Puasa Muharam dan ditekankan puasa ‘Asyura, dan Puasa sehari sebelumnya, serta sehari sesudahnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/450. Darul Kitab ‘Arabi)

Sama dengan kelompok kedua, hal ini demi kehati-hatian agar tidak menyerupai puasa Yahudi yang mereka lakukan pada hari ke-10, sebagai perayaan mereka atas bebasnya Nabi Musa ‘Alaihissalam dan bani Israel dari kejaran musuhnya.

Dalilnya adalah dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Ahuma secara marfu’:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود ، صوموا يوما قبله أو يوما بعده

“Puasalah pada hari ‘Asyura dan berselisihlah dengan Yahudi, dan berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad No. 2154, namun Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan sanadnya dhaif)

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada:

وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب : أدناها أن يصام وحده ، وفوقه أن يصام التاسع معه ، وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم .

“Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan:

🍂1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10).

🍂2. Puasa hari ke-9 dan ke-10.

🍂3.  Paling tinggi   puasa hari ke-9, 10, dan ke-11.

(Ibid. lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/450)

Wallahu A’lam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌼Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼

- Twitter: @GrupMANIS
- Web: www.iman-islam.com

📝 Pendaftaran: Klik http://goo.gl/forms/Dx2XkQ0Jtb

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Selasa, 06 Oktober 2015

Kalau Belum Waktunya, Jangan!

📆Senin, 21 Dzulhijjah 1436 / 05 Oktober 2015

🌄 TAZKIROH

📝 Pemateri: Ust SYAHRONI MARDANI Lc.

📜 "KALAU BELUM WAKTUNYA, JANGAN.."

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Ada kaidah yg mengatakan bahwa:

🍀🍂"SIAPA YANG MENIKMATI SESUATU SEBELUM WAKTUNYA, MAKA SAAT WAKTUNYA TIBA, DIA TIDAK DAPAT MENIKMATINYA LAGI".🍂🍀

Benar sekali kaidah ini.. Siapa yang bersenang-senang di dunia, maka dia tak dapat bersenang-senang lagi di akhirat.

🌵Pakaian penghuni surga adalah sutera (fathir 35 : 33).. (alhajj 22 : 23)

Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

🌵 "Janganlah engkau memakai sutera.
Dan barang siapa yg memakai sutera di dunia, maka dia tak akan dapat memakainya lagi di akhirat" (muttafaq alaih)

Ada beberapa minuman penghuni surga, di antaranya adalah khamar. Tentu khamar yg terbaik dan tidak memabukkan. (Muhammad 47 : 15) (alwaqiah 56 : 17 -19)

Rasulullah saw dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Muslim bersabda,

🌵"Setiap yang memabukkan adalah khamar. Setiap khamar adalah haram. Siapa yg minum khamar (di dunia) lalu mati dan belum bertaubat masih kecanduan khamar, maka dia tak akan pernah meminumnya lagi di akhirat" (HR muslim)

Saudaraku..
Dunia adalah tempat beramal...
Dan akhirat tempat memetik hasilnya.

Kita akan bersenang senang di akhirat, 
Insya Allah bersenang senang di surganya Allah.

💡"Innaman nasru sobru sa'ah.. "

Maknanya...

💡 KEMENANGAN ITU ADALAH BERSABAR YANG HANYA SEBENTAR SAJA.

Wallahu a'lam bishawab.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌼Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼

- Twitter: @GrupMANIS
- Blog: www.grupmanis.blogspot.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Senin, 05 Oktober 2015

Jalan Ibadah yang Benar

📆Senin, 21 Dzulhijjah 1436H / 05 Oktober 2015

🌅 AL-QURAN DAN TAFSIR

📝 Pemateri: Ust. AHMAD SAHAL Lc.

📜 SURAT AL-FATIHAH
(Bagian 3 - Tamat) 

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌺🍃 Sub Tema 2: Jalan ibadah yang benar

Barangsiapa yang mengenal Allah dengan sifat-sifat seperti dijelaskan oleh ayat 1 sampai ayat 4 (pada bagian 2 tulisan ini) maka akal sehat dan kejernihan hatinya pasti akan mengantarkannya kepada satu kesimpulan bahwa hanya Dialah yang berhak untuk diibadahi (tauhid & ikhlas).

Namun untuk memastikan bahwa kita telah beribadah dengan benar, kita memerlukan petunjuk dari Allah tentang jalan ibadah itu sendiri berupa tata cara dan contoh yang diberikan oleh mereka yang sebelumnya telah mendapat petunjuk itu.

Ayat 5 dan 6 berbicara tentang sub tema kedua ini.
Jadi sub tema kedua ini mengandung beberapa poin:

١- إِخْلَاصُ الْعِبَادَةِ للهِ
٢- الاِسْتِعَانَةُ بِاللهِ عَلَى تَحْقِيْقِهِ
٣- سُلُوكُ الطَّرِيْقِ الْمُسْتَقِيْمِ

1⃣. Memurnikan ibadah hanya untuk Allah
2⃣ Memohon pertolongan kepada Allah untuk merealisasikannya
3⃣. Menempuh jalan yang lurus

🍂Ayat 5

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepadaMu kami beribadah, dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan.

Ini adalah ikrar setiap muslim untuk selalu beribadah hanya kepada Allah - tidak menyekutukanNya dengan apapun dan siapapun, dan untuk memohon pertolongan hanya kepada Allah dalam hal-hal yang tak dapat dilakukan oleh sesama makhluk atau yang dilarang kita melakukannya.

Di dalam ayat ini terdapat beberapa poin penting, diantaranya:

🍄 Penegasan tentang tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah sebagai konsekuensi dari tauhid rububiyah yang disebutkan di ayat sebelumnya.

Maksudnya bahwa Dzat yang menciptakan, mengatur dan memiliki kekuasaan mutlak atas makhlukNya di dunia dan akhirat, maka hanya Dialah yang berhak untuk diberikan segala bentuk peribadatan. (Lihat ayat yang senada dengan hal ini misalnya Al-Baqarah ayat 21-22).

🍄 Ibadah didahulukan daripada isti’anah (mohon pertolongan) karena hamba yang sedang mengucapkan ikrar ini mengedepankan adab kepada Allah sehingga ia lebih memuliakan hak Allah daripada hak dirinya.

Atau karena ibadah lebih
kuat kaitannya dengan ayat sebelumnya sementara isti’anah adalah mukadimah permohonan pada ayat setelahnya.

🍄 Untuk mewujudkan tauhid kepada Allah kita memerlukan pertolongan dariNya, atau dengan kata lain ibadah sebagai tujuan, sedangkan isti’anah sebagai jalan.

🍄 Meskipun seorang muslim membaca ayat ini sendirian, ia tetap membacanya dengan ungkapan “na’budu” (kami beribadah) dan “nasta’in” (kami mohon pertolongan), untuk menegaskan bahwa spirit berjamaah harus selalu ada dalam dirinya, bahwa ia selalu bersama saudara seiman di mana dan kapan pun mereka hidup.

وإذا كان الله وحده هو الذي يُعبد، والله وحده هو الذي يُستعان، فقد تخلص الضمير البشري من استذلال النظم والأوضاع والأشخاص، كما تخلص من استذلال الأساطير والأوهام والخرافات

🍄 Bila hanya Allah yang diibadahi dan dimintai pertolongan, maka nurani manusia telah terbebas dari penindasan berbagai sistem (buatan manusia), situasi (yang direkayasa) dan sosok (yang diktator), juga bebas dari penghinaan keyakinan berdasarkan dongeng, mitos dan khurafat. (Fi Zhilal Al-Quran, 1/25).

🍂Ayat 6
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjuki kami jalan yang lurus.

Setelah mengikrarkan bahwa hanya kepadaMu ya Allah kami mohon pertolongan, maka hal penting dan utama yang diminta dan diperlukan oleh seorang hamba untuk dapat ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan mentauhidkanNya adalah jalan yang lurus yang menjelaskan tata cara ibadah yang benar.

💡Yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah ISLAM sesuai riwayat dari Abdullah bin Abbas ra, atau Al-Quran seperti riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/137-138).

Seorang muslim selalu memohon hidayah jalan yang lurus untuk dirinya dan saudara-saudaranya, yaitu hidayah untuk tetap berislam dan berpegang teguh kepada Al-Quran dan penjelas Al-Quran, yakni Sunnah atau Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

🔑 Islam adalah aqidah (keyakinan) dan syari’ah (aturan) yang kita mohonkan kepada Allah agar kita diberi hidayah untuk memahami sekaligus mengikuti dan mengamalkannya.

Hidayah untuk memahami kebenaran dinamanakan “hidayah irsyad/bayan” sedangkan hidayah agar kita mengikuti kebenaran disebut dengan “hidayah taufiq”.

Dalam doa ma’tsur disebutkan:

اللَّهُمَّ أَرِنِي الْحَقَّ حَقًّا وَوَفِّقْنِي لِاتِّبَاعِهِ وَأَرِنِي الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَوَفِّقْنِي لِاجْتِنَابِهِ

Ya Allah, perlihatkan kepadaku bahwa yang benar itu benar dan berikan taufiq (bimbingan) kepadaku untuk mengikutinya, dan perlihatkan kepadaku bahwa yang salah itu salah dan berikan taufiq kepadaku untuk  menjauhinya.
(Manshur bin Yunus Al-Bahuti Al-Hambali dalam Syarah Muntaha Al-Iradat (3/497) menyebutkannya sebagai doa Umar bin Khathab ra, Abu Thalib Al-Makky dalam Qut Al-Qulub (1/142) menyebutkannya dengan sedikit perbedaan redaksi sebagai doa Abu Bakar ra, sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/571) menyebutkannya sebagai doa ma’tsur tanpa menyebutkan siapa pemilik doa).

Beberapa BENTUK HIDAYAH yang kita perlukan agar kita sampai kepada ridhaNya:

🌵Hidayah untuk memiliki keyakinan yang benar tentang seluruh rukun iman

🌵 Hidayah untuk bertaubat dari dosa yang telah kita lakukan karena meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram, atau bertobat dari meninggalkan yang sunnah atau mengerjakan yang makruh, atau berlebihan dalam hal-hal yang mubah.

🌵 Hidayah untuk memperbaiki kualitas dan atau kuantitas amal shalih yang telah kita lakukan

🌵 Hidayah berupa keinginan kuat untuk melaksanakan amal shalih yang sebenarnya mampu kita laksanakan tetapi belum kita lakukan karena kemauan yang lemah.

🌵 Hidayah agar mampu melaksanakan amal shalih yang amat ingin kita lakukan.

🌵 Hidayah agar tsabat (tetap dan teguh) dalam kebaikan yang telah kita lakukan dengan baik hingga akhir hayat dan meraih husnul khatimah.

🌵 Hidayah agar kita istiqamah di dalam semua bentuk hidayah di atas bahkan selalu diberi tambahan.

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mau menerima hidayah, Allah menambah hidayah mereka dan mendatangkan untuk mereka ketakwaan. (Muhammad: 17).

🌺🍃 Sub Tema 3:
Penjelasan tentang salikin (orang-orang yang menempuh) jalan ibadah yang benar dan munharifin (orang-orang yang menyimpang) darinya.

🍂 Ayat 7

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula mereka yang sesat.

Sub tema 3 memberi penjelasan tentang siapakah orang yang telah ditunjuki oleh Allah sehingga mereka dapat menempuh jalan ibadah yang lurus ini?

Mereka adalah orang-orang yang diberi ni’mat oleh Allah berupa:

1. صِحَّةُ الْفَهْمِ
🍄Pemahaman yang benar

2. حُسْنُ الْقَصْدِ
🍄Maksud yang baik

Pemahaman yang benar menghindarkan mereka dari penyakit syubuhat (kerancuan keyakinan) sehingga mereka tidak tersesat, sedangkan maksud atau niat yang baik menjauhkan mereka dari penyakit syahwat (memperturutkan nafsu) sehingga mereka tidak dimurkai oleh Allah.

Mereka adalah para nabi, orang-orang yang shidiq, para syuhada dan orang-orang shalih sebagaimana dijelaskan di surat An-Nisa ayat 69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

🔎🍁 Ayat ini menjelaskan bahwa satu-satunya jalan yang lurus saat ini adalah agama Islam yang diaplikasikan dalam bentuk ketaatan kepada Allah (Al-Quran) dan Muhammad Rasulullah (Sunnah atau Hadits)🍁🔍

Merekalah yang akan membersamai orang-orang yang sebelumnya telah diberi ni’mat oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin.

Sedangkan orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus adalah mereka yang dimurkai dan yang tersesat.

Orang-orang yang dimurkai oleh Allah adalah mereka yang telah diberi pengetahuan tentang kebenaran nabi Muhammad tetapi tetap membangkang karena memperturutkan berbagai bentuk syahwat mereka.

Sementara orang-orang yang SESAT adalah mereka yang tidak mengenal jalan kebenaran bisa jadi disebabkan oleh kurangnya usaha menuntut ilmu, atau tidak menelaah lagi keyakinan dan jalan yang mereka tempuh dengan timbangan dalil, baik dalil sam’i (wahyu) maupun dalil aqli (logika akal sehat) yang dibimbing oleh wahyu.

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan (wahyu) atau memikirkan (dengan akal sehat) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (Al-Mulk: 10)

Islam sebagai syariat yang dibawa oleh Rasulullah wajib diimani oleh seluruh ummat manusia yang hidup sejak beliau diutus hingga manusia akhir zaman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّة يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (رواه مسلم)

“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidak seorangpun yang mendengar tentang aku dari umat (manusia) ini, seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dunia dan tidak beriman kepada syariat yang aku diutus untuk membawanya, kecuali ia termasuk penghuni neraka”. (HR. Muslim)

Sementara Islam sebagai aqidah tauhid merupakan agama seluruh nabi dan rasul alaihimussalam, tak ada satupun nabi atau rasul yang mengajak ummatnya kepada penyembahan dirinya atau makhluk lain selain Allah, sebagaimana firmanNya tentang Nabi Ibrahim alaihissalam:

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif (lurus bertauhid) lagi muslim (berserah diri kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 67-68).

Juga firmanNya tentang Isa alaihissalam:

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah?"

Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).

Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu:
"Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu",
dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Maidah: 116-117).

Dan Allah menamakan semua nabi & pengikutnya sebagai kaum muslimin:

مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian “orang-orang muslim” dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (Al-Hajj: 78).

والله أعلم بالصواب

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌼Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼

- Twitter: @GrupMANIS
- Blog: www.grupmanis.blogspot.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Jumat, 02 Oktober 2015

Muamalah Riba

📆Jumat, 18 Dzulhijjah 1436 / 02 Okt 2015

🌅 FIQIH MUAMALAH
📝 Pemateri: Ust. Rikza Maulan, Lc., M Ag.

📜 Bahaya Riba dan Seluk Beluknya

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

💡Sekilas Tentang Hadits

Hadits ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :
Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :
Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
Imam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
Makna Hadits Secara Umum 

Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”

Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.
Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi riba”?
Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.

🔎 Makna Riba

Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan.
Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.

Definsi yang sederhana dari riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).

Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.

Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.

🔎 Riba Merupakan Dosa Besar

Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba.

Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).

🔎 Periodisasi Pengharaman Riba

Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:

1⃣. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta. Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

2⃣. Tahap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu. Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.

Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.

3⃣. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda. Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

4⃣. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba. Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

🔎 Buruknya Muamalah Ribawiyah

Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :

Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).

Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).

Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).

Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)

Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)

Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).

Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?

🔎 Praktik Riba Dalam Kehidupan

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :

1⃣. Transaksi Perbankan

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.

Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.

Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian.

Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.

2⃣. Transaksi Asuransi

Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama.

Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun.
Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).

Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini.

Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi.

Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.

3⃣. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.

Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman).

Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.

Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan.
Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.

Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini.

Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)

Wallahu A’lam Bis Shawab.

🌿🌴🌿🌴

🌼Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼

- Twitter: @GrupMANIS
- Blog: www.grupmanis.blogspot.com