Sendi adalah hati yang selalu bersyukur, lidah yang terus berdzikir, dan tubuh yang senantiasa bersabar. Syukur, dzikir, dan sabar mengandung nikmat dan ganjaran. Kalaupun ilmu para ulama, hikmah para bijak dan syair para peenyair dihimpun mengenai kebahagiaan ini, niscaya kita tidak akan mendapatkannya hingga kita sendiri memiliki tekad bulat. Yakni, tekad untuk merasakan, merengkuh serta mencarinya dengan sungguh-sungguh serta berusaha untuk mengusir apa yang bertentangan dengannya: “Barangsiapa yang datang kepadaku dengan berjalan kaki, maka aku akan mendatanginya dengan berlari.” (Hadits Qudsi)
Salah satu tanda kebahagiaan seorang hamba adalah menyembunyikan rahasia dirinya dan merencanakan jalan hidupnya. Disebutkan bahwa ada seorang Badui yang mendapat kepercayaan untuk menyembunyikan sebuah rahasia dengan imbalan sepuluh dinar. Namun ia merasa tidak betah dengan rahasia tersebut. Kemudian dia pergi menemui pemilik dinar. Ia mengembalikan dinar itu, dan membuka rahasia yang dibebankan kepadanya. Kesimpulannya, menyembunyikan rahasia itu butuh ketahanan, kesabaran, dan tekad yang kuat.
“Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu.” (12:5)
Karena sesungguhnya titik lemah yang ada pada manusia adalah menyingkap lembaran-lembaran kehidupannya kepada manusia, meyebarkan rahasia-rahasia hidupnya kepada mereka. Ini merupakan penyakit lama, penyakit menahun yang menjangkiti manusia. Karena jiwa manusia memang cenderung untuk menyebarkan rahasia dan menyebarkan berita.
Hubungannya dengan masalah kebahagiaan adalah bahwa siapa saja yang menyebarkan rahasia dirinya, maka umumnya mereka akan mengalami penyesalan, kesedihan, dan kegelisahan. “Dan,hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (18:19)
“Ihdinash-shiraathal mustaqiim,” Rahasia Hidayah
Kebahagiaan hanya bisa dicapai dan dinikmati oleh orang yang mengikuti satu sisi: dari shiraathal mustaqiim (jalan yang lurus). Itulah peninggalan Rasulullah untuk kita, karena sisi yang satunya lagi berada di surga.
“Dan, pasti Kami akan tunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.” (4:68)
Kebahagiaan orang yang senantiasa berjalan di atas shiraathal mustaqim adalah dia selalu merasa tenang dengan akhir yang baik dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Dia juga merasa yakin bahwa tempat kembalinya adalah tempat yang baik. Ia pun percaya sepenuhnya terhadap janji Rabb-nya, rela dengan qadha-Nya, dan mengendalikan langkahnya untuk tetap berada di atas jalan ini. Dia sadar bahwa ada seorang yang menunjukkan janji. Siapakah? Dia yang makhsum, tidak berbicara berdasarkan nafsu, dan tidak megekor orang-orang yang menyimpang. Dia yang ucapannya adalah hujjah, yang terjaga dari keusilan setan, dan keteledoran manusia.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintahnya Allah.” (13:11)
Dalam penitiannya di atas jalan ini, dia tahu bahwa dirinya memiliki Ilah, di depannya ada teladan, di tangannya ada kitab suci, di dalam hatinya ada cahaya kebenaran, dan di dalam nuraninya ada pemberi nasehat. Dengan demikian, ia menjadi sosok yang berjalan menuju kenikmatan, yang berbuat dalam ketaatan, dan yang berusaha kea rah kebaikan.
“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba Nya.” (6:88)
Di manakah yang disebut kegelapan, wahai penunjuk jalan? Di manakah cahaya Allah itu ada dalam kalbuku? Dan inilah yang aku lihat.
Jalan yang dimaksud ada dua: yang indrawi dan yang maknawi. Yang indrawi adalah jalan hidayah dan iman. Sedangkan yang indrawi adalah jalan yang ada di atas Jahanam. Jalan keimanan adalah jalan yang ada di dunia fana-sarat dengan cakar-cakar pencengkeram berupa syahwat. Sedangkan jalan ukhrawi yang berada di atas Jahanam-penuh duri-duri yang sangat tajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar